“…sesungguhnya ada satu persoalan yang menyita perhatian para pakar sejarah Islam. Dan hal ini sampai sekarang belum menjadi mufakat global pakar sejarah Islam. Selama ini, kita memahami bahwa Nabi Muhammad SAW lahir pada hari Senin tanggal 12 Rabi’ul Awal tahun gajah. Namun sesungguhnya, terjadi perbedaan pendapat tentang hari, tanggal dan tahunnya. Bagaimana kalau bahasan ini kita pending ke tulisan berikutnya?”
Maka inilah pembahasannya. Saya ingin memulai dari fakta bahwa tidak ada kata sepakat dikalangan sejarawan abad-abad awal Islam tentang kepastian tanggal kelahiran Nabi SAW. Secara umum yang popular adalah 12 rabiul awwal. Lantas bagaimana cara menyikapi hal ini? Oleh karena tanggal kelahiran merupakan bagian dari sejarah, maka kita perlu merujuk kepada cerita, riwayat, narasi yang tercatat dengan baik dan terekam dengan terpecaya, baik dari para sahabat, ataupun Nabi SAW sendiri dalam bentuk hadist.
Ada yang menarik di sini. Terdapat clue dari Nabi SAW namun sayangnya masih bersifat umum melalui beberapa hadist beliau. Imam Muslim meriwayatkan tentang pertanyaan sahabat perihal kebiasaan beliau berpuasa setiap hari senin. Beliau SAW menjawab bahwa kebiasaan berpuasa hari senin tersebut karena hari senin merupakan hari kelahiran Beliau SAW dan hari senin juga merupakan hari pertama kalinya wahyu turun di Gua Hira.
Hadist diatas dengan jelas menyebutkan hari senin sebagai hari kelahiran Nabi SAW. Namun pertanyaannya kemudian adalah hari senin tanggal berapa? Dalam 1 minggu ada 1 hari senin, dalam satu bulan ada 4 senin dan dalam 1 tahun, berapa ratus hari senin? Senin yang mana?
Demikian juga hal nya dengan tahun. Terdapat sebuah riwayat dari Usman bin affan yang bertanya kepada Qubais bin Asyam, seorang sepuh dari suku Quraish, beberapa waktu setelah wafatnya Nabi SAW. Usman bertanya, ”Apakah benar kamu lebih tua dari Rasul SAW?” Qubais menjawab, “Iya”. Usman lanjut bertanya, “Apakah kamu tahu tahun kelahiran Beliau?”. Qubais berkata, “Saya ingat betul pada waktu itu saya dibawa ibu saya pergi keluar Kota Mekkah dan saya dengan mata kepala sendiri melihat di sepanjang jalan itu bekas-bekas kotoran dan bangkai gajah berserakan tak karuan, dan Beliau di lahirkan pada saat itu”. Artinya, bahwa Qubais umurnya lebih tua dari Nabi SAW.
Ada lagi seorang sahabat mendukung pendapat Qubais tersebut. Suwaid bin Goflah mengatakan bahwa dia dan Rasul SAW seumur karena mereka berdua dilahirkan pada tahun Gajah.
Jika merujuk kepada buku sejarah Islam, maka kita akan temui lalu lintas historical accounts yang semakin rumit. Alasannya, sedari masa para sahabat, pencatatan sangat jarang dilakukan, termasuk di dalamnya pencatatan sejarah. Hal ini terjadi karena mereka memang diberi kelebihan oleh Allah SWT berupa hafalan yang kuat sehingga merasa tidak perlu pencatatan di lembaran-lembaran semacam kertas. Bisa dibayangkan, kajian-kajian sejarah Islam diriwayatkan turun temurun dari para sahabat ke generasi seterusnya tanpa ada catatan yang sistematis sehingga berserakan dalam memori orang-orang yang hidup pada saat itu.
Ramdahan Al-Buti mengatakan bahwa barulah pada masa tabiin, pencatatan tentang sejarah Islam dilakukan secara sistematis dan dibukukan. Di antara mereka ialah: Urwah bin Zubeir yang meinggal pada tahun 92 Hijriyah , Aban bin Utsman (105), Syurahbil bin Sa’d (123), Wahab bin Munabbih (110) dan Ibnu Syaihab az-Zuhri (wafat tahun 124 H). Akan tetapi semua yang pernah mereka tulis sudah lenyap, tidak ada yang tersisa kecuali beberapa bagian yang sempat diriwayatkan oleh Imam ath-Thabari. Ada yang mengatakan bahwa sebagian tulisan Wahab bin Munabbih sampai sekarang masih tersimpan di Heidelberg, Jerman. Kemudian muncul generasi penyusun Sirah berikutnya. Tokoh generasi ini ialah Ibnu Ishaq. Lalu disusul oleh generasi sesudahnya dengan tokohnya Muhammad bin Sa’ad. Kedua buku inilah yang menjadi rujukan para ahli sejarah hingga sekarang dalam pembahasan sejarah Islam. Sekalipun sebenarnya buku asli tulisan Ibnu Ishaq yang saat ini kita terima merupakan rangkuman yang ditulis oleh Ibnu Hisyam. Buku aslinya Ibnu Ishaq telah musnah.
Berdasarkan 2 buku ini, kembali kita disuguhkan perbedaan mengenai tanggal kelahiran Nabi SAW. Ibnu Ishaq (150 H) menyatakan bahwa Rasul SAW lahir tgl 12 Rabiul Awal, hari senin, tahun gajah. Sayangnya, pernyataan ini ditulis dibukunya dengan tanpa merujuk kepada satupun riwayat atau hadist alias tanpa sanad. Hanya di ringkasan yang ditulis oleh Ibnu Hisyam disebut bahwa pendapat Ibnu Ishaq berdasarkan riwayat dari Ibnu Abbas. Maka, sejarawan merasa sulit untuk mempercayai begitu saja pernyataan Ibnu Ishaq ini mengingat, pertama, antara Ibnu Ishaq dan Rasul SAW terdapat jurang waktu 200 tahun lebih. Dan kedua, pencantuman tanggal 12 rabiul awwal tersebut tanpa referensi, baik dari hadis, atsar atau apapun perkataan sahabat. Ketiga, jika memang sanadnya dari Ibnu Abbas, maka terdapat kontradiksi pula dengan pendapat Ibnu Abbas lainnya yang muncul pada Tabaqat milik Muhammad bin sa’ad (220 H). Menurut Ibnu Sa’ad, Nabi SAW lahir hari senin, tapi tanggalnya ada yang menyebutkan tanggal 10 rabiul awwal sebagaimana riwayat dari Ibnu Abbas dan ada juga yang menyebutkan tanggal 2 rabiul awwal.
Sementara itu, Ibnu Katsir di dalam bukunya yang sangat terkenal bidayah wannihayah, menjelaskan lebih terperinci. Menurutnya, Jumhur ulama berkeyakinan bahwa kelahiran Nabi SAW terjadi pada bulan Rabiul Awwal, tapi ada juga sekumpulan ulama yang menyatakan pada bulan lain. Demikian juga mengenai tanggal kelahiran beliau. Ada yang menyatakan bahwa beliau lahir pada tanggal 2 rabiul awwal sebagaimana yang diucapkan oleh Abu ma’sar assindi dan ibn abdul bar serta alwakidi. Ada juga kelompok lainnya, masih menurut penjelasan Ibnu katsir, yang menyebut tanggal 8 rabiul awwal. Di antara mereka yang berpendapat seperti ini adalah Ibn Hazm, Imam Malik, Azzuhri, dan Muhammad bin Zubair. Kelompok lainnya, masih dalam buku bidayah wannihayah, menyatakan bahwa beliau dilahirkan pada tanggal 10 rabiul awwal. Ini pendapat Ibn Asakir dan Ja’far Ashadiq. Dan kelompok ke empat, menyatakan bahwa beliau lahir pada tanggal 12 rabiul awwal dan ini pendapatnya Ibnu Ishaq yang tanpa sanad tadi yang kemudian disebut oleh Ibnu Hisyam berdasarkan riwayat dari Ibnu Abbas. Jadi, menurut Ibnu Katsir, inilah 4 kelompok besar yang menyebutkan kelahiran nabi SAW yang terkenal pada abad pertama Islam.
Kemudian, pada abad pertengahan, muncul lagi pendapat-pendapat lain. Ada yang mengatakan 17 rabiul awwal, 22 rabiul awwal, bahkan ada yang mengatakan beliau lahir pada bulan Ramadhan (Silahkan merujuk kepada Zubair bin Bakkar, penulis pertama tentang Sejarah Kota Mekkah).
Singkatnya, terdapat hampir 10 pendapat, bahkan lebih banyak lagi jika kita bongkar buku-buku sejarah yang ada, tentang perbedaan tanggal kelahiran Nabi SAW dimana tidak ada satupun dianggap memiliki hujjah yang paling kuat. Hanya saja, semenjak abad pertengahan, 12 rabiul awwal lebih popular dibandingkan dengan tanggal lainnya. Padahal, jika diukur dengan standar akademis, tanggal 2, 8 dan 10 rabiul awwal seharusnya lebih valid karena ketiga tanggal tersebut dimunculkan berdasarkan sanad yang bersambung langsung kepada Rasul SAW, sementara pendapatnya Ibnu Ishaq yang menyatakan tanggal 12 rabiul awaal tersebut malah tidak kuat dengan alasan yang telah disebutkan tadi diatas.
Pertanyaannya, kenapa justru tanggal 12 rabiul awwal yang popular? Jawabanya mudah.
Pertama, karena sosok Ibnu Ishaq sendiri. Sebagaimana yang dimaklumi diatas bahwa buku sejarah islam edisi awal yang masih bisa diselamatkan dari kehancuran, baik karena perang dan faktor lain, hanya buku karyanya Ibnu Ishaq ini, sekalipun ada buku lainnya tapi tingkat reliabilitas dan validitasnya secara umum sangat rendah. Karenanya, buku-buku sejarah yang saat ini kita baca, seluruhnya, tanpa terkecuali, merujuk kepada bukunya Ibnu Ishaq. Bisa dikatakan bahwa Ibnu Ishaq adalah Bapaknya Sejarah Islam.
Kedua, ini yang mengandung sisi kontroversial, bahwa perayaan maulid pertama kali dilaksanakan oleh sebuah otoritas Islam terjadi pada tanggal 12 rabiul awwal. Karena perayaan ini dilaksanakan oleh penguasa sah pada saat itu, maka ia pun dijadikan sampel, baik dari sisi penetapan waktu, kebiasaan dan bentuk kegiatannya, oleh penguasa lain dan penguasa seterusnya dalam sejarah Islam hingga saat ini. Fakta ini bisa sangat jelas didapatkan dalam buku-buku sejarah tentang perayaan maulid Nabi SAW.
Dalam buku yang ditulis oleh Dr. Yasir Qadhi, The History of Maulid, perayaan maulid Nabi SAW dirayakan secara komunal untuk pertama kalinya pada tahun 517 H (abad ke 6) oleh otoritas Fatimiyah di Mesir. Dan Dinasti Fatimiyah adalah dinasti yang bermazhab Syiah, bahkan Syiah yang ekstrim, bukan Sunni. Pada sekitar 150 tahun kemudian, yaitu pada tahun 660 H, seorang gubernur Sunni di daerah Irak, tepatnya di Mosul, mengadopsi perayaan ini berikut dengan tanggalnya, yaitu 12 rabiul awwal. Inilah perayaan maulid pertama yang dilakukan oleh kelompok Sunni. Berdasarkan hal ini, selama 500 tahun lebih, konsep perayaan maulid Nabi SAW tidak dikenal sebelumnya dalam tradisi Islam. Kenapa demikian rumit dan seakan penuh misteri? Mudah saja untuk dijelaskan.
Dalam tradisi Arab kuno, tidak dikenal kalender. Mereka menentukan tahun berdasarkan peristiwa yang terjadi hingga kemudian Umar bin Khattab berinisiatif untuk membuat kalender Islam. Dan pada kenyataannya, pencatatan tanggal kelahiran dan perayaan ulang tahun pada setiap tahunnya memang tidak pernah dikenal dalam tradisi orang Arab bahkan dalam tradisi kita sekalipun, terutama yang berasal dari kampung-kampung di pelosok Indonesia. Almarhum Ayah dan Ibu kandung saya sendiri saja dulu kalau di tanya tahun berapa lahir, jawabnya, “tahun Belanda”. Lantas tahun yang tertera di KTP? Asal isi saja kata mereka.
Perayaan ulang tahun pada kenyataanya memang tradisi Barat. Saya bukan pada posisi membid’ahkan atau mengharamkan perayaan maulid bahkan saya orang yang merayakan ulang tahun bagi anak-anak saya dan juga merayakan setiap tahun peringatan maulid Nabi SAW. Yang ingin saya kemukakan disini adalah bahwa terdapat perbedaan pendapat ulama tentang tanggal kelahiran Nabi SAW, bahkan secara akademis, tanggal 12 rabiul awwal merupakan tanggal yang sangat lemah realibilitas dan validitasnya, lalu selanjutnya bahwa tradisi maulid adalah tradisi yang muncul belakangan, para sahabat yang hidup bersama Nabi SAW tidak pernah melakukan hal ini. Lantas apakah tidak dibenarkan merayakan maulid Nabi ala kita? Saya kira tidak ada masalah, tidak ada yang perlu dipertanyakan karena faktanya di acara itu kita mengaji, mendengarkan ceramah tentang Nabi SAW, bershalawat kepada Beliau dan hal-hal baik lainnya.
Melalui tulisan pendek ini, saya hanya ingin memanggil saudara-saudaraku sekalian untuk benar-benar menyadari betapa pentingnya pencatatan sebuah sejarah. Karena sejarahlah yang akan dirujuk oleh generasi yang terus menerus berdatangan sesudah kita hingga hari akhir nanti. Sekali saja kegelapan sejarah diciptakan, maka kegelapan itu akan terus dipegang dan menjadi kebenaran palsu. Tidak enak hidup dalam kepalsuan. Sungguh…!
Selamat memperingati Maulid Nabi SAW, semoga kita semua mendapatkan syafaat Beliau di Padang Mahsyar kelak. Dan saya juga mau pamit karena diundang oleh Masjid Al-Barkah untuk khutbah Maulid Nabi SAW… Wallahu a’lam bi al-showab,
Menyelesaikan pendidikan dasar Islam di Pondok Pesantren Daarul Rahman, Jakarta. Lalu melanjutkan studi ke University of the Punjab, Lahore, Pakistan dan menyelesaikan S-3 di UTHM Malaysia dengan mempertahankan disertasi terkait dengan manajemen wakaf produktif. Saat ini fokus sebagai dosen di IAI Arrisalah INHIL-Riau, Research Fellow di Irdak Institute of Singapore, Research Fellow di Fath Institute for Islamic Research, Pemimpin Redaksi ACADEMICS TV, Direktur pada Swara Akademika Indonesia Foundation.
0 Komentar